
JAKARTA||SELIDIK: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto terkait kasus korupsi pengadaan gas cair alam atau Liquefied Natural Gas (LNG) di PT Pertamina Tahun 2011-2014. “Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK Merah Putih,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto dalam keterangannya, Senin (7/1/2024). Selain Dwi Soetjipto, KPK juga memeriksa enam orang lainnya sebagai saksi untuk kasus yang sama. Mereka adalah Aji Saputra selaku Analyst Direktorat Perencanaan Investasi dan Manajemen Resiko (PIMR); Luhut Budi Djatmika selaku mantan Direktur Umum PT Pertamina periode 2012-2014; dan Amir Harahap selaku Manager LNG Transportasion–Direktorat Gas (PT Pertamina). Kemudian, Tanudji Darmasakti selaku mantan SVP Gas & LNG Management PT Pertamina; Hari Karyuliarto selaku mantan Direktur Gas PT Pertamina (Persero); dan Ali Mundakir selaku mantan VP Corporate Communication PT Pertamina.
Sebelumnya, KPK diketahui mengembangkan kasus korupsi pengadaan gas cair alam atau LNG di PT Pertamina. Pada 2 Juli 2024, KPK menetapkan dua pejabat PT Pertamina lainnya sebagai tersangka dalam kasus tersebut yaitu, Senior Vice President (SVP) Gas & Power PT Pertamina tahun 2013-2014 Yenni Andayani dan Direktur Gas PT Pertamina Periode 2012-2014 Hari Karyuliarto. Adapun Eks Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan telah divonis sembilan tahun penjara dalam kasus korupsi tersebut. Karen dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Majelis Hakim menilai perbuatan Karen melanggar Pasal Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama sembilan tahun dan denda sebesar Rp 500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan,” ujar Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat pada 24 Juni 2024. (RH)
Jakarta||SelidikNet: Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) menegaskan keberadaannya dengan fungsi pengawasan justru memperkuat KPK dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi di tanah air.
Hal tersebut disampaikan Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean menanggapi tudingan yang menyebut keberadaan Dewas telah melemahkan kinerja KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi.
“Saya pikir keliru ya (melemahkan KPK), justru dengan adanya Dewas, KPK menjadi lebih kuat. Kenapa? karena ada yang memantau, ada yang mengawasi,” kata Tumpak Hatorangan Panggabean di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Kamis.
Tumpak mengatakan bahwa KPK tidak luput dari kesalahan dalam menjalankan tugasnya, oleh karena itu fungsi pengawasan diperlukan agar tugas pemberantasan korupsi berjalan sesuai dengan prosedur dan ketentuan hukum.
“Apakah KPK tidak bisa salah? Bisa, bisa salah. Salah tangkap? Bisa. Salah sita bisa enggak? Bisa. Jadi perlu ada pengawasan, itu perlu,” ujarnya.
Mantan pimpinan KPK jilid I tersebut mengatakan keberadaan Dewas KPK bukan tanpa kelemahan. Dia mengatakan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 yang mengatur soal Dewas KPK, baru menyertakan soal tugas Dewas, namun belum disertai kewenangan yang kuat.
Tumpak tidak menampik soal masih adanya kekurangan pada Dewas KPK Jilid I, dia pun menyampaikan permintaan maaf kepada publik atas kekurangan tersebut.
Namun dia memastikan, Dewas KPK saat ini telah menyiapkan catatan untuk disampaikan kepada Dewas periode berikutnya untuk mempermudah tugas Dewas selanjutnya untuk memastikan KPK bisa menjalankan tugas dengan optimal dan sesuai dengan koridor hukum.
“Kami lima orang adalah yang ditunjuk, bukan melamar menjadi Dewas. Inilah yang bisa kami lakukan lima tahun ini. Banyak kekurangan. Mohon dapat dimengerti, mohon maaf atas segala kekurangan-kekurangan kami,” tuturnya. (RH)

Jakarta||SelidikNet: menjadwalkan pemeriksaan terhadap mantan Menkumham, Yasonna Laoly. Ia diminta untuk hadir di Gedung KPK untuk memberikan keterangan pada Jumat (13/12).
“Benar ada jadwal pemanggilan besok,” kata juru bicara KPK, Tessa Mahardhika, kepada wartawan, Kamis (12/12).
Namun demikian, Tessa belum bisa menjelaskan lebih lanjut terkait materi pemeriksaan kepada politikus PDIP itu.
“Namun untuk perkaranya belum bisa disampaikan,” ucapnya.
Informasi yang beredar, diduga pemanggilan Yasonna ini terkait kasus dugaan suap yang menjerat eks Caleg PDIP, Harun Masiku. Namun KPK belum membenarkannya.
Kasus Harun Masiku
Kasus Harun Masiku ini terungkap diawali OTT KPK pada Januari 2020. Komisioner KPU Wahyu Setiawan menjadi salah satu pihak yang dijerat tersangka dalam kasus penerimaan suap tersebut. Wahyu terbukti menerima suap senilai Rp 600 juta dari mantan caleg PDIP itu.
Suap diberikan agar Wahyu mengupayakan Harun Masiku menjadi anggota DPR F-PDIP melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu
Sementara Harun Masiku yang gagal ditangkap KPK saat OTT pada awal 2020 itu masih buron hingga kini. Sudah hampir 5 tahun, Harun Masiku masih buron.
Wahyu Setiawan yang sudah terbukti bersalah di pengadilan mendapat Pembebasan Bersyarat per tanggal 6 Oktober 2023. Usai bebas itu, Wahyu Setiawan sempat diperiksa KPK juga tak lama setelah rumahnya digeledah penyidik.
Adapun KPK juga telah mencegah lima orang ke luar negeri, yang merupakan pengembangan kasus Harun Masiku. Mereka diduga terkait dengan upaya perintangan penyidikan terhadap Harun Masiku. Salah satunya adalah staf Hasto yang bernama Kusnadi. (AS)
Jakarta||SelidikNet: Fraksi Golkar dan PKS di Komisi III DPR mengkritisi usulan Menteri Koordinator Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra agar KPK menjadi penyidik tunggal untuk mengurusi kasus korupsi.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Nasir Djamil menilai usulan Yusril terlalu berlebihan. Menurut dia, usulan itu hanya akan membuat KPK ke depan semakin kewalahan.
“Menurut saya berlebihan juga. Wacana itu berlebihan. Karena akan membuat KPK kewalahan,” kata Nasir saat dihubungi, Rabu (11/12).
Dia menyebut kasus korupsi merupakan tindak pidana yang dilakukan secara berjemaah, sehingga penanganannya pun harus diselesaikan dengan cara yang sama. Menurut dia, tugas itu tak bisa diselesaikan hanya oleh KPK
Nasir tak menampik selama ini ada tumpang tindih antara KPK, Polri, dan Kejaksaan dalam menyelesaikan kasus korupsi. Itu, sambungnya, adalah hal yang memang tak bisa dihindari pula.
“Tapi ini tidak bisa dihindari. Jadi pada prinsipnya sebenarnya polisi dan jaksa itu kan membantu KPK dengan kewenangan yang dimiliki kepolisian dan kejaksaan,” kata dia.
Nasir pun berharap agar wacana itu tak lagi disampaikan di ruang publik. Kecuali, pemerintah punya kajian komprehensif.
“Apa akan membantu meningkatkan indeks persepsi korupsi di Indonesia. Apakah itu akan membantu menyelesaikan masalah-masalah tipikor di Indonesia,” kata dia.
Sementara, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Soedeson Tandra mempertanyakan kesiapan KPK untuk menjadi pintu tunggal penanganan kasus korupsi. Dengan usulan itu, Soedeson menilai KPK harus menjadi lembaga besar.
Selain itu, dia melihat maka akan terjadi revisi menyeluruh bukan hanya pada UU KPK saja, melainkan juga pada UU Kepolisian dan UU Kejaksaan.
“kita juga harus mengubah banyak UU. UU kepolisian, kejaksaan, KPK itu akhirnya kita bikin lembaga yang lebih besar lagi. Itu bicara anggaran dan sebagainya,” katanya.
Atas dasar itu, Soedeson mengaku tidak setuju dengan usulan itu.
Dia ingin agar tugas pokok penanganan kasus korupsi tetap diserahkan kepada Polri dan Kejaksaan. Hanya saja, KPK ke depan harus fokus pada penanganan kasus korupsi kakap.
“Dia fokus pada korupsi yang rumit. Sedangkan polisi dan kejaksaan fokus pada perkara kecil. Sehingga itu bisa kemudian bisa mengatasi,” pungkasnya. (AS)
Bogor||SelidikNet: Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bogor menggelar sejumlah kegiatan untuk memperingati Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2024. Kegiatan ini digelar berturut selama seharian penuh pada Senin (9/11/2024).
Kepala Kejari Kota Bogor, Meilinda mengatakan, kegiatan dimulai dengan Upacara Peringatan Hari Anti Korupsi yang digelar di Halaman kantornya Jl. Ir. H. Juanda Nomor, Pabaton, Bogor Tengah. Upacara ini dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia
“Jadi ada tiga rangkaian kegiatan Kejari Kota Bogor, yakni upacara peringatan Hari Anti Korupsi, bakti sosial, serta sosialisasi dalam rangka edukasi dan publikasi hasil kinerja Kejaksaan RI melalui saluran RRI Bogor,” katanya.
Dia menjelaskan Hakordia Tahun 2024 kali ini mengusung tema Bersama Melawan Korupsi Untuk
Indonesia Maju. Tema tersebut selaras dengan Asta-Cita Presiden Prabowo untuk memperkuat reformasi politik, hukum dan birokrasi, serta pencegahan dan pemberantasan korupsi. (RH)
“Kami berkomitmen bersama seluruh elemen untuk memberantas korupsi guna mewujudkan cita-cita nasional, yaitu menjadi bangsa maju yang terbebas dari korupsi untuk menuju Indonesia Emas Tahun 2045,” ujarnya.
Setelah pelaksanaan Upacara Peringatan mereka kemudian menggerakkan Bakti Sosial di dengan memberikan bantuan. Bantuan ini berupa sembako kepada tukang becak, pengemudi ojek online, supir angkutan umum, hingga warga masyarakat yang melintas di depan Kantor Kejaksaan Negeri Kota Bogor.